TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Empat puluh empat tahun yang lalu,
Friedmann menyatakan telah terjadinya perubahan struktur dan berkembangnya
dimensi-dimensi baru hukum internasional. Satu di antaranya yang terpenting
adalah terus meluasnya ruang lingkup bidang hukum ini. Perluasan ruang lingkup
tersebut, untuk bagian terbesar, diakibatkan oleh bertumbuhnya bidang-bidang di
mana seluruh atau sebagian anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk
mencapai tujuan-tujuan kesejahteraan internasional. Oleh
karena itu, menurut Friedmann, dalam memahami dimensi-dimensi baru bidang hukum
ini mesti dimulai dari lima perspektif yang berbeda:
Dalam kaitan dengan acara ini, pertanyaannya
kemudian adalah, jika hingga saat ini negara masih merupakan pelaku utama dalam
hukum internasional, yang artinya bahwa negaralah yang merupakan subjek hukum
utama dalam hukum internasional, apakah dengan demikian berarti hanya negara
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum internasional? Perkembangan yang
terjadi, khususnya setelah Perang Dunia II, menunjukkan bahwa individu atau
orang perorangan pun, dalam batas-batas tertentu, dapat dimintakan
pertanggungjwabannya menurut atau dalam hukum internasional, khususnya dengan
makin berkembangnya hukum humaniter internasional, hukum internasional hak
asasi manusia, dan hukum pidana internasional. Ketiga cabang hukum
internasional ini, pada titik tertentu, bukan hanya saling berhubungan tetapi juga
saling melengkapi. Jeffrey L. Dunoff dan kawan-kawan mempunyai perumpamaan
menarik dalam menggambarkan hubungan antara ketiga cabang hukum internasional
ini:
BAB II
PEMBAHASAN
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Tinjauan Umum
Secara umum dikatakan, negara
bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan
dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah
membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada
tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab
Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States
for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut
“Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/
59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi
tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan
masalah itu kembali pada tahun 2007.
Hukum internasional tentang tanggung
jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan
internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan
pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi.
Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan
menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC, sehingga kalaupun rancangan
Artikel itu tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan
tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh
karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional (International Court of
Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum
kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara)
sebagai sumber primer hukum internasional.
Sebelum masuk ke dalam hal-hal
substansial yang lebih detail, ada tiga hal penting, semacam prinsip umum, yang
perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
(1) bahwa Artikel bersifat residual,
maksudnya Artikel tidak berlaku dalam hal syarat-syarat atau kondisi bagi
adanya suatu perbuatan yang dipersalahkan secara internasional (internationally wrongful act) atau isi
maupun implementasi tanggung jawab internasional suatu negara diatur oleh
ketentuan hukum internasional khusus;
(2) bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku terhadap
masalah-masalah yang tidak dicakup oleh Artikel, sehingga tetap terbuka bagi
perkembangan hukum internasional yang mengatur tentang tanggung jawab negara,
misalnya mengenai tanggung jawab atas akibat-akibat yang merugikan atau
membayakan yang ditimbulkan oleh suatu tindakan yang tidak dilarang oleh hukum
internasional;
(3) bahwa, tanpa mengabaikan ketentuan dalam Piagam PBB, kewajiban-kewajiban
yang tertuang dalam Pasal 103 Artikel diutamakan berlakunya daripada
kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional
lainnya. Maksud ketentuan ini adalah untuk menyatakan secara tegas bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Artikel tidak mengesampingkan tindakan yang diambil
oleh PBB mengenai pembayaran kompensasi oleh suatu negara.
Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional
(Internationally wrongful act of a
state)
Artikel menentukan bahwa setiap
tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional
melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan
tersebut dikatakan salah hanya jika (a) berdasarkan hukum internasional ia dapat
diatribusikan kepada negara itu, dan (b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional. Namun Artikel tidak memberi pembatasan kapan
suatu negara melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Hal itu
ditentukan melalui penerapan sumber-sumber ketentuan primer (ketentuan perjanjian
internasional, hukum kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum
internasional lainnya). Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap
pertanggungjawaban organisasi internasional dan individu atau orang-perorangan.
Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara
(Attribution of conduct to a state)
Dalam keadaan bagaimanakah suatu
perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara? Secara umum, ketentuan yang
berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara atau pemerintah
atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan
perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat
diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan
nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan
apa pun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai
organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara. Juga termasuk di dalamnya orang-orang yang
secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak
diklasifikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.
Perbuatan atau tindakan yang murni
merupakan tindakan pribadi yang dilakukan seseorang, meskipun orang yang
bersangkutan adalah pejabat suatu negara, tidak dapat diatribusikan kepada
suatu negara. Namun, perbuatan yang dilakukan oleh orang atau entitas yang
bukan merupakan organ negara tetapi diberi kewenangan oleh hukum nasional suatu
negara untuk melaksanakan “unsur-unsur kewenangan pemerintah” (elements of govermental authority) akan
dianggap sebagai perbuatan negara jika dalam kasus tertentu orang atau entitas
tadi bertindak dalam kapasitas demikian. Sementara itu, jika organ suatu negara
sedang melaksanakan tugas untuk membantu negara lain, maka perbuatan organ
negara tadi akan dianggap sebagai perbuatan negara yang disebut terakhir
sepanjang organ negara itu bertindak atas persetujuan serta berada di bawah
kewenangan, perintah, dan pengawasan negara yang disebut terakhir dan untuk
mencapai tujuan-tujuan negara yang disebut terakhir tadi.
Tindakan organ negara, atau orang
maupun entitas yang diberi wewenang untuk melaksanakan unsur-unsur kewenangan
pemerintahan, dipandang sebagai tindakan negara jika organ negara, orang atau
entitas tersebut bertindak dalam kapasitas itu bahkan jika mereka bertindak
melampaui kewenangannya atau melanggar perintah. Ketentuan ini dimaksudkan agar suatu negara tidak menghindar dari tanggung
jawabnya dengan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh organ-organnya
itu adalah tindakan yang tidak sah. Namun, dalam hal ini, tidak mencakup
tindakan yang murni merupakan tindakan atau perbuatan pribadi, melainkan tindakan
yang diakui atau tampak dilakukan pada saat organ-organ negara, orang, atau
entitas tadi sedang melaksanakan fungsi-fungsi resminya.
Bahkan tindakan seseorang atau
sekelompok orang yang tidak merupakan tindakan pemerintah pun dapat dianggap
sebagai tindakan negara jika orang atau kelompok orang itu bertindak
berdasarkan perintah negara atau berada di bawah perintah atau pengawasan
negara. Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab atas tindakan
sekelompok orang yang, misalnya, melakukan teror berdasarkan perintah negara
itu. Juga, suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak dapat diatribusikan kepada
suatu negara akan dapat diatribusikan kepada negara jika negara tersebut
mengakui dan menerima tindakan tersebut sebagai tindakannya. Namun, dalam
hubungan ini, jika sekadar berupa pernyataan dukungan yang dinyatakan oleh
suatu negara tidak cukup untuk menyatakan perbuatan itu diatribusikan kepada
negara tersebut.
Pelanggaran suatu kewajiban internasional
(Breach of an international
obligation)
Sekalipun suatu perbuatan dapat
diatribusikan kepada suatu negara, untuk
melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan
merupakan melanggar suatu kewajiban internasional negara yang
bersangkutan. Untuk menentukan ada
tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional, Artikel menentukan bahwa
hal itu harus ditentukan secara kasus demi kasus.
Sementara itu ditentukan pula bahwa
perbuatan suatu negara tidak dianggap pelanggaran kewajiban internasional jika
perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya suatu negara oleh suatu kewajiban
internasional. Hal ini sudah merupakan asas hukum internasional yang berlaku
umum yaitu bahwa suatu perbuatan harus dinilai menurut hukum yang berlaku pada
saat perbuatan itu terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa akibat perbuatan
itu (yang bisa saja baru terjadi bertahun-tahun setelah perbuatan itu).
Keadaan-keadaan yang menghapuskan kesalahan
(Circumstances precluding
wrongfulness)
Keadaan-keadaan tertentu, meski
tidak mempengaruhi suatu kewajiban internasional, dapat menjadi alasan pembenar
atas terjadinya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, yang dengan
demikian menghapuskan unsur kesalahan dari perbuatan itu. Beban pembuktiannya berada
pada negara yang hendak membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban.
Contohnya, adanya persetujuan dari
suatu negara atas perbuatan yang dilakukan oleh negara lain yang jika tidak ada
persetujuan tersebut perbuatan tadi adalah perbuatan yang dapat dipersalahkan. Demikian
pula tindakan yang dilakukan dalam rangka pembelaan diri sesuai dengan
ketentuan Piagam PBB. Namun, dalam hubungan ini penting dicatat bahwa
kendatipun penggunaan kekuatan bersenjata (misalnya dalam rangka pembelaan diri
tadi) itu sah, tanggung bagi terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter
yang berlaku dalam sengketa bersenjata (jus
in bello) atau pelanggaran terhadap hak asasi yang tergolong ke dalam non-derogable tetap berlaku.
Terdapat beberapa hal lain yang
dapat membebaskan suatu negara dari kesalahan, yaitu jika perbuatan itu
dilakukan karena keadaan terpaksa (force
majeure), atau jika pelaku tidak mempunyai pilihan lain yang masuk akal,
dalam keadaan tertekan (distress),
guna menyelamatkan hidupnya atau pihak lain yang berada di bawah pengawasannya.
Yang juga dapat membebaskan negara dari kesalahan adalah jika tindakan yang
dilakukan itu merupakan keharusan (necessity).
Hal ini bisa terjadi dalam hal adanya pertentangan yang tidak dapat didamaikan
antara kepentingan mendasar suatu negara dan kewajiban internasional negara
itu. Oleh karenanya, dalil necessity
ini rentan terhadap kemungkinan penyalahgunaan. Untuk menghindari
penyalahgunaan itulah Artikel menentukan bahwa dalil necessity baru dapat diterima sepanjang: (a) hal itu merupakan
satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan kepentingan esensial suatu negara
dari bahaya besar dan segera terjadi (grave
and imminent peril), (b) tidak menimbulkan gangguan serius terhadap
kepentingan esensial negara yang terikat oleh kewajiban internasional itu atau
masyarakat internasional secara keseluruhan.
Selanjutnya ditegaskan pula oleh
Artikel bahwa hal apa pun tidak dapat membebaskan suatu negara untuk melanggar
suatu norma hukum internasional yang sudah pasti (jus cogens, peremptory norms), misalnya larangan melakukan
genosida, perbudakan, agresi, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara
umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan
atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu.
Komisi Hukum Internasional (International
Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini
sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan
Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan
menurut Hukum Internasional (draft
Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts,
selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh
Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang
negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya
dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
Artikel menentukan bahwa setiap tindakan atau perbuatan suatu negara yang
dipersalahkan secara internasional melahirkan pertanggungjawaban internasional
negara yang bersangkutan. Perbuatan tersebut dikatakan salah hanya jika (a)
berdasarkan hukum internasional ia dapat diatribusikan kepada negara itu, dan
(b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional.
DAFTAR
PUSTAKA
ü http:www. Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional.com
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah
Hukum Internasional berupa artikel yang berjudul “ Tanggung Jawab Negara Menurut Hukum Internasional ”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam
penulisan tugas yang berupa artikel ini, penulis telah banyak menerima bantuan
dan saran dari semua pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih yang sebesarnya kepada dosen mata kuliah Hukum Internasional yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga tugas artikel ini dapat
selesai dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, karena
dalam penulisan ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi sempurnanya
penulisan ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
....................................................................... i
Daftar Isi
................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
................................................................ 1
BAB II Pembahasan
Tanggung jawab Negara ................................…………. 2
Perbuatan yang diatribusikan kep[ada negara………… 4
Pelanggaran suatu
kewajiban.............................................. 6
Keadaan yang menghapus kesalahan............................... 6
BAB III Penutup
............................................................. 7
Kesimpulan
Kritik dan Saran
Daftar Pustaka…………………………………………………… 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar