Senin, 04 Maret 2013


TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN

            Empat puluh empat tahun yang lalu, Friedmann menyatakan telah terjadinya perubahan struktur dan berkembangnya dimensi-dimensi baru hukum internasional. Satu di antaranya yang terpenting adalah terus meluasnya ruang lingkup bidang hukum ini. Perluasan ruang lingkup tersebut, untuk bagian terbesar, diakibatkan oleh bertumbuhnya bidang-bidang di mana seluruh atau sebagian anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan kesejahteraan internasional. Oleh karena itu, menurut Friedmann, dalam memahami dimensi-dimensi baru bidang hukum ini mesti dimulai dari lima perspektif yang berbeda:
            Dalam kaitan dengan acara ini, pertanyaannya kemudian adalah, jika hingga saat ini negara masih merupakan pelaku utama dalam hukum internasional, yang artinya bahwa negaralah yang merupakan subjek hukum utama dalam hukum internasional, apakah dengan demikian berarti hanya negara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum internasional? Perkembangan yang terjadi, khususnya setelah Perang Dunia II, menunjukkan bahwa individu atau orang perorangan pun, dalam batas-batas tertentu, dapat dimintakan pertanggungjwabannya menurut atau dalam hukum internasional, khususnya dengan makin berkembangnya hukum humaniter internasional, hukum internasional hak asasi manusia, dan hukum pidana internasional. Ketiga cabang hukum internasional ini, pada titik tertentu, bukan hanya saling berhubungan tetapi juga saling melengkapi. Jeffrey L. Dunoff dan kawan-kawan mempunyai perumpamaan menarik dalam menggambarkan hubungan antara ketiga cabang hukum internasional ini:



BAB II
PEMBAHASAN

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Tinjauan Umum
            Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
            Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC, sehingga kalaupun rancangan Artikel itu tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.
            Sebelum masuk ke dalam hal-hal substansial yang lebih detail, ada tiga hal penting, semacam prinsip umum, yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:
(1)   bahwa Artikel bersifat residual, maksudnya Artikel tidak berlaku dalam hal syarat-syarat atau kondisi bagi adanya suatu perbuatan yang dipersalahkan secara internasional (internationally wrongful act) atau isi maupun implementasi tanggung jawab internasional suatu negara diatur oleh ketentuan hukum internasional khusus;
(2)   bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku terhadap masalah-masalah yang tidak dicakup oleh Artikel, sehingga tetap terbuka bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur tentang tanggung jawab negara, misalnya mengenai tanggung jawab atas akibat-akibat yang merugikan atau membayakan yang ditimbulkan oleh suatu tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional;
(3)   bahwa, tanpa mengabaikan ketentuan dalam Piagam PBB, kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam Pasal 103 Artikel diutamakan berlakunya daripada kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya. Maksud ketentuan ini adalah untuk menyatakan secara tegas bahwa ketentuan-ketentuan dalam Artikel tidak mengesampingkan tindakan yang diambil oleh PBB mengenai pembayaran kompensasi oleh suatu negara.
Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional
(Internationally wrongful act of a state)
            Artikel menentukan bahwa setiap tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan tersebut dikatakan salah hanya jika (a) berdasarkan hukum internasional ia dapat diatribusikan kepada negara itu, dan (b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Namun Artikel tidak memberi pembatasan kapan suatu negara melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Hal itu ditentukan melalui penerapan sumber-sumber ketentuan primer (ketentuan perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, dan sumber-sumber hukum internasional lainnya). Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap pertanggungjawaban organisasi internasional dan individu atau orang-perorangan.  
Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara
(Attribution of conduct to a state)
            Dalam keadaan bagaimanakah suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara? Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara atau pemerintah atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apa pun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara.  Juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.
            Perbuatan atau tindakan yang murni merupakan tindakan pribadi yang dilakukan seseorang, meskipun orang yang bersangkutan adalah pejabat suatu negara, tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara. Namun, perbuatan yang dilakukan oleh orang atau entitas yang bukan merupakan organ negara tetapi diberi kewenangan oleh hukum nasional suatu negara untuk melaksanakan “unsur-unsur kewenangan pemerintah” (elements of govermental authority) akan dianggap sebagai perbuatan negara jika dalam kasus tertentu orang atau entitas tadi bertindak dalam kapasitas demikian. Sementara itu, jika organ suatu negara sedang melaksanakan tugas untuk membantu negara lain, maka perbuatan organ negara tadi akan dianggap sebagai perbuatan negara yang disebut terakhir sepanjang organ negara itu bertindak atas persetujuan serta berada di bawah kewenangan, perintah, dan pengawasan negara yang disebut terakhir dan untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang disebut terakhir tadi.
            Tindakan organ negara, atau orang maupun entitas yang diberi wewenang untuk melaksanakan unsur-unsur kewenangan pemerintahan, dipandang sebagai tindakan negara jika organ negara, orang atau entitas tersebut bertindak dalam kapasitas itu bahkan jika mereka bertindak melampaui kewenangannya atau melanggar perintah. Ketentuan ini dimaksudkan agar suatu negara tidak menghindar dari tanggung jawabnya dengan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh organ-organnya itu adalah tindakan yang tidak sah. Namun, dalam hal ini, tidak mencakup tindakan yang murni merupakan tindakan atau perbuatan pribadi, melainkan tindakan yang diakui atau tampak dilakukan pada saat organ-organ negara, orang, atau entitas tadi sedang melaksanakan fungsi-fungsi resminya.
            Bahkan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang tidak merupakan tindakan pemerintah pun dapat dianggap sebagai tindakan negara jika orang atau kelompok orang itu bertindak berdasarkan perintah negara atau berada di bawah perintah atau pengawasan negara. Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab atas tindakan sekelompok orang yang, misalnya, melakukan teror berdasarkan perintah negara itu. Juga, suatu perbuatan yang sesungguhnya tidak dapat diatribusikan kepada suatu negara akan dapat diatribusikan kepada negara jika negara tersebut mengakui dan menerima tindakan tersebut sebagai tindakannya. Namun, dalam hubungan ini, jika sekadar berupa pernyataan dukungan yang dinyatakan oleh suatu negara tidak cukup untuk menyatakan perbuatan itu diatribusikan kepada negara tersebut.


Pelanggaran suatu kewajiban internasional
(Breach of an international obligation)
            Sekalipun suatu perbuatan dapat diatribusikan  kepada suatu negara, untuk melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan merupakan melanggar suatu kewajiban internasional negara yang bersangkutan.  Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional, Artikel menentukan bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus demi kasus.
            Sementara itu ditentukan pula bahwa perbuatan suatu negara tidak dianggap pelanggaran kewajiban internasional jika perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya suatu negara oleh suatu kewajiban internasional. Hal ini sudah merupakan asas hukum internasional yang berlaku umum yaitu bahwa suatu perbuatan harus dinilai menurut hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa akibat perbuatan itu (yang bisa saja baru terjadi bertahun-tahun setelah perbuatan itu).
Keadaan-keadaan yang menghapuskan kesalahan
(Circumstances precluding wrongfulness)
            Keadaan-keadaan tertentu, meski tidak mempengaruhi suatu kewajiban internasional, dapat menjadi alasan pembenar atas terjadinya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, yang dengan demikian menghapuskan unsur kesalahan dari perbuatan itu. Beban pembuktiannya berada pada negara yang hendak membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban.
            Contohnya, adanya persetujuan dari suatu negara atas perbuatan yang dilakukan oleh negara lain yang jika tidak ada persetujuan tersebut perbuatan tadi adalah perbuatan yang dapat dipersalahkan. Demikian pula tindakan yang dilakukan dalam rangka pembelaan diri sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Namun, dalam hubungan ini penting dicatat bahwa kendatipun penggunaan kekuatan bersenjata (misalnya dalam rangka pembelaan diri tadi) itu sah, tanggung bagi terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata (jus in bello) atau pelanggaran terhadap hak asasi yang tergolong ke dalam non-derogable tetap berlaku.
            Terdapat beberapa hal lain yang dapat membebaskan suatu negara dari kesalahan, yaitu jika perbuatan itu dilakukan karena keadaan terpaksa (force majeure), atau jika pelaku tidak mempunyai pilihan lain yang masuk akal, dalam keadaan tertekan (distress), guna menyelamatkan hidupnya atau pihak lain yang berada di bawah pengawasannya. Yang juga dapat membebaskan negara dari kesalahan adalah jika tindakan yang dilakukan itu merupakan keharusan (necessity). Hal ini bisa terjadi dalam hal adanya pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara kepentingan mendasar suatu negara dan kewajiban internasional negara itu. Oleh karenanya, dalil necessity ini rentan terhadap kemungkinan penyalahgunaan. Untuk menghindari penyalahgunaan itulah Artikel menentukan bahwa dalil necessity baru dapat diterima sepanjang: (a) hal itu merupakan satu-satunya tindakan untuk menyelamatkan kepentingan esensial suatu negara dari bahaya besar dan segera terjadi (grave and imminent peril), (b) tidak menimbulkan gangguan serius terhadap kepentingan esensial negara yang terikat oleh kewajiban internasional itu atau masyarakat internasional secara keseluruhan.
            Selanjutnya ditegaskan pula oleh Artikel bahwa hal apa pun tidak dapat membebaskan suatu negara untuk melanggar suatu norma hukum internasional yang sudah pasti (jus cogens, peremptory norms), misalnya larangan melakukan genosida, perbudakan, agresi, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.





BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.
Artikel menentukan bahwa setiap tindakan atau perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional melahirkan pertanggungjawaban internasional negara yang bersangkutan. Perbuatan tersebut dikatakan salah hanya jika (a) berdasarkan hukum internasional ia dapat diatribusikan kepada negara itu, dan (b) melahirkan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional.








DAFTAR PUSTAKA

ü  http:www. Perbuatan suatu negara yang dipersalahkan secara internasional.com

























KATA PENGANTAR
                       
            Dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Hukum Internasional berupa artikel yang berjudul “ Tanggung  Jawab Negara Menurut Hukum Internasional ” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

            Dalam penulisan tugas yang berupa artikel ini, penulis telah banyak menerima bantuan dan saran dari semua pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesarnya kepada dosen mata kuliah Hukum Internasional yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga tugas artikel ini dapat selesai dengan baik.

            Penulis menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, karena dalam penulisan ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi sempurnanya penulisan ini.















DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................                       i
Daftar Isi .................................................................................                       ii
BAB I Pendahuluan ................................................................                      1
BAB II            Pembahasan
Tanggung jawab Negara ................................………….                               2
Perbuatan yang diatribusikan kep[ada negara…………                                4
Pelanggaran suatu kewajiban..............................................                            6
Keadaan yang menghapus kesalahan...............................                               6
BAB III          Penutup .............................................................                     7
Kesimpulan    
Kritik dan Saran
Daftar Pustaka……………………………………………………                8




Tidak ada komentar:

Posting Komentar