Pengakuan Dalam Hukum Internasional
di susun oleh mujiman
BAB I
PENDAHULUAN
Apabila kita mempelajari hukum internasional, terutama sejak abad ke-18 sampai
dewasa ini, maka kita akan menemukan betapa pentingnya peranan lembaga
pengakuan internasional dalam hubungan antar negara sebagaimana diakui oleh
semua sarana hukum internasional. Malahan tidak berlebihan kalau kita
mengatakan disini bahwa pemberian atau dalam segi negatifnya penolakan
pemberian pengakuan itu, telah merupakan faktor yang banyak pengaruhnya
terhadap perkembangan sejarah internasional.
Penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada Uni-Soviet
selama 16 tahun lamanya misalnya semenjak revolusi Oktober 1917 di Rusia telah
sangat mempengaruhi keadaan dunia pada masa tersebut, sebagaimana halnya
penolakan pemberian pengakuan oleh Amerika Serikat kepada pemerintah Republik
Rakyat Tiongkok semenjak berkuasanya rezim itu di Tiongkok mulai akhir tahun
1949, sangat banyak mempengaruhi keadaan politik di dunia umumnya, di Asia
khususnya.
Pembahasan mengenai lembaga pengakuan internasional ini semoga ada
manfaatnya, oleh karena tetap merupakan suatu masalah aktual yang menyangkut
berbagai bidang hubungan antar negara. Masyarakat internasional merupakan
masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai
negara lain dan ada pula negara baru yang lahir. Demikian pula pemerintah lama
terguling, pemerintah baru lahir. Lahirnya negara/ pemerintah tersebut ada yang
melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan. Perubahan-perubahan
ini menyebabkan anggota masyarakat internasional lainnya dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu mau menyetujui atau menolaknya. Oleh karena nya pemakalah akan membahas mengenai pengakuan dalam hokum
internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengakuan
Dalam Hukum Internasional
1.
Teori-teori
tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam
pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada
atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau
keberadaan suatu negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
- Teori
Deklaratoir
- Teori
Konstitutif
- Teori Pemisah
atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori
Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu
negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak
mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum
internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh
terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan
internasional.
Berbeda dengan penganut Teori
Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat
penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai
anggota masyarakat internasional.
Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian
hukum internasional (international legal personality) suatu negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu
negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional.
Karena adanya perbedaan pendapat
yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan
tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini,
harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan
kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu
negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan
pengakuan oleh negara-negara lain.
2.
Macam atau
Jenis Pengakuan
Ada dua macam atau jenis pengakuan,
yaitu :
- Pengakuan de Facto; dan
- Pengakuan de Jure.
Pengakuan de facto, secara
sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya,
pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya
pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara
yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara.
Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta
maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang
diakui itu. Sebab, bilamana negara yang
diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun
akan berakhir dengan sendirinya.
Berbeda dengan pengakuan de facto
yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang
bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan
pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan
bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya
suatu negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru
kemudian de jure. Namun tidak
selalu harus demikian. Sebab bisa saja
suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung
memberikan pengakuan de jure.
Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :
q Penguasa di
negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun substansial)
wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya;
q Rakyat di
negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa (baru) itu;
q Ada kesediaan
dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum internasional.
3. Cara Pemberian Pengakuan
Ada dua cara pemberian pengakuan,
yaitu :
- Secara tegas (expressed recognition); dan
- Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).
Pengakuan secara tegas maksudnya,
pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu pernyataan resmi. Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau
tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat
dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :
q
Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui
secara diam-diam itu);
q
Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui
secara diam-diam itu);
q
Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara
yang diakui secara diam-diam itu).
4. Penarikan Kembali Pengakuan
Secara umum dikatakan
bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi
pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan
itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau
memiliki kepribadian hukum internasional (international
legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka
pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang
diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum
internasional (Catatan: masalah
pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi
negara).
Namun, dalam diskursus akademik,
satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan
oleh suatu negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan
persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap
pengakuan.
Terhadap persoalan di
atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke
dalam dua golongan:
(1) Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat
ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan
ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;
(2) Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan
dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya
syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut.
Sesungguhnya ada pula
pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan
persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang
mengakui. Contohnya, suatu negara akan memberikan pengakuan kepada negara lain
jikan negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu
wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan.
Persyaratan semacam itu
tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal
demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan
pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang
membebani pihak yang hendak diberi pengakuan.
Pertimbangan lain yang
tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan (yang
berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa
memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum
internasional. Artinya, bersedia atau
tidak bersedianya suatu negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa
atau fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan
kata lain, apakah suatu negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu
sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan.
Persoalan lain yang
timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran obejktif untuk pemberian
pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu
merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang
kajian dari politik internasional.
Secara keilmuan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya
pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
subjektif yang bersifat politis daripada hukum.
Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai
bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun,
dikarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum
internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan
internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional
menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional,
khususnya dalam kaitanya dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai
subjek hukum internasional.
5.
Bentuk-bentuk
Pengakuan
Yang baru saja kita bicarakan adalah
pengakuan terhadap suatu negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga
saat ini, pengakuan ternyata bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada
berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap
suatu negara):
1.
Pengakuan
negara baru. Jelas, pengakuan ini
diberikan kepada suatu negara (entah berupa pengakuan de facto maupun de
jure).
2.
Pengakuan
pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara
dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika corak
pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat kontras perbedaannya.
3.
Pengakuan
sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok pemberontak yang
sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara.
Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu
berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini
semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak
lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik
tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian
pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal
biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali
tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan
itu.
4.
Pengakuan
beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak.
Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak.
Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya
sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini,
antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat
mengadakan pinjaman, dll.
5.
Pengakuan
sebagai bangsa. Pengakuan ini
diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara.
Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi
hukum pengakuan beligerensi.
6.
Pengakuan
hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya isinya
adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”). Bentuk
pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya
terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi
Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). Padahal Jepang adalah salah satu negara
penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand
Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang
menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak penggunaan
perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka
penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut
ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu
diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson,
yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak teritorial dan
situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal
sebagai Stimson’s Doctrine of Non-Recognition.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Menurut
penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal
saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan
tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek
hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak
berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan
internasional
Ada
dua cara pemberian pengakuan, yaitu :
- Secara tegas (expressed recognition); danSecara
diam-diam atau tersirat (implied recognition).
Ada berbagai macam
bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
1. Pengakuan negara baru.
2.
Pengakuan
pemerintah baru.
3.
Pengakuan
sebagai pemberontak.
4.
Pengakuan
beligerensi.
5. Pengakuan sebagai bangsa.
6. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru
Daftar
Pustaka
Enny Soeprapto, 1998 . “
International Protection of Refugees and Bassic Principles of Refugeee Law an
Analysis”, Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Refugee Law dan
Displaced Persons yang diselenggarakan kerjasama Pusat Studi Hukum Humaniter
Fakultas Hukum Tri Sakti dengan United Nations High Commissioner for Refugees
tanggal 26 Maret 1998 , Jakarta : UNHCR dan PSHH FH FH Usakti
http:// www.pengakuan dalam hokum internasional.com
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada penulis, sehingga tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah
Hukum Internasional berupa artikel yang berjudul “ Pengakuan menurut hukum
internasional ” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam
penulisan tugas yang berupa artikel ini, penulis telah banyak menerima bantuan
dan saran dari semua pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa
terimakasih yang sebesarnya kepada dosen mata kuliah Hukum Internasional yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga tugas artikel ini dapat
selesai dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, karena dalam
penulisan ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi sempurnanya penulisan ini.
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
....................................................................... i
Daftar
Isi
................................................................................. ii
BAB
I Pendahuluan
................................................................ 1
BAB
II Pembahasan
Pengertian
pengakuan………..………………………..…………. 2
Jenis pengakuan……………………..…………….………………… 3
Cara pemberian pengakuan……………..……………………… 4
Penarikan kembali pengakuan………………………………….. 5
Bentuk bentuk pengakuan……………………………………………. 6
BAB
III Penutup
............................................................. 7
Kesimpulan
Kritik
dan Saran
Daftar
Pustaka…………………………………………………………….…… 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar