Senin, 11 Maret 2013


PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM:
METODE ISTINBAT HUKUM DENGAN ISTISLAH DAN SELUK BELUK PENERAPANNYA



A.    Pendahuluan
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi Ijtihad (upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syari’ah (al-kitab wa sunnah).[1] Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab’iyyah), yaitu Syari’ah terdahulu (syar’ man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al’urf), Istihsan, Istishlah, dan Istishhab.[2]
Dalam Islam, melakukan suatu perbuatan harus mempunyai unsur manfaat dalam hidup atau mempunyai kemaslahatan bagi dirinya atau bagi masyarakat. Sebab hal itulah yang melatar belakangi mengapa syari’ah Islam itu ada, yaitu menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemadharatan.
Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu hukum sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlahah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum islam (madzhab) Malikiyah.[3] Tapi pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad dikalangan sahabat dan tabi’in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi’iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh alira Zhahiriyyah dan Syi’ah.[4]
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan yang mudah ditangkap, syari’ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada dasarnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari’ah yang diturunkan oleh Allah kepada semua rasulNya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.[5]
















B.     Pembahasan
Salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari nash adalah mashlahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumlah nash).[6]

1.   Pengertian Istishlah.
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan.[7] Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.[8]
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).

Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.[9]

Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.[10]
Tujuan syara’ yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas maka dinamakan mashlahah. Disampig itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah.[11] Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syatibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ di atas termasuk ke dalam konsep mashlahah. Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahtan di akhirat.[12]
Al-Khawarizmi menyatakan :

memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia”.[13]

Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia di dunia maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Disampig itu, juga segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.

2.   Macam-macam Istishlah
Dalam kajian para ahli al-ijtihad mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah, yaitu :
a). Mashlahah yang diakui ajaran syari’ah. Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan manusia, yaitu :.
Pertama, Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.[14]
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan agamanya. Permasalahan di ataslah yang merupakan dasar mashlahah.[15]
Kedua, Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya.[16]
Hajiyah, merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah di atas.[17]
Ketiga, Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam kehidupan.[18]
Tahsiniyyah, merupakan kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.[19]
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.[20]

b). Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah yaitu kepentingan yang bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada tigkat pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah al-Mulghah.[21]
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Sedangkan Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fiqh Maliki di Spanyol), menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasululllah di atas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.[22]

c). Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua. Mashlahahain disebut dengan Mashlahah al-Mursalah.[23]
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.[24] Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.[25]
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadist).[26]
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas. Menurutnya, mashlahah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak.[27]

d).  Al-Mashlahah  al-‘ammah.
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih al-khamsah. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain. Seperti misalnya menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan tempat tinggalnya), dan mashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut ilmu bagi semua orang Islam).[28] Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah:
1.      Mashlahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.[29]
Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2.   Mashlahah al-Khasanah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.[30]
Dalam hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang sifatnya pribadi dan sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan  hilang (maqfud).[31]
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.[32]

3.   Kehujjahan Istishlah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal, sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasululllah pernah ditanya tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak.[33] Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :


 “Bahwa Rasullah saw. Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi kamu”.

Keberadaan kucing yang senantiasa berada di rumah merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci). Oleh sebab itu, thawwaf  merupakan motivasi dari hukum thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara kucing di rumahnya.[34]
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).[35]
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu :
a)      Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang dimaksud persyaratan ini ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.[36]
b)      Bahwa kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi. Yang dimaksud dengan persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau menolak bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.[37]
c)      Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan yang menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an.[38]
Ulama golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas. Misalnya, ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina.[39] Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu :
a)   Mashalahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’.[40]
b)   Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.[41]
c)   Mashlahah itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.[42]
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut kemaslahatan orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.[43]
Jumhur ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum.[44]
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
Hasil induksi terhadap ayat atau hadist menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini Allah berfirman :

Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia”. (Q.S. al-Anbiya’, 21 : 107).

Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.[45]
Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa yang dituntut oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak kemaslahatn manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan mereka.[46]
Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam bagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash Al-Qur’an.[47]
Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.[48]











C. Kesimpulan
Mashlahah al-Mursalah, yaitu yang mutlak menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : Suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya. Maslahat ini disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui atau dalil yang membatalkannya.
a.   Keutamaan Istishlah Dalam Hukum Islam.
Menghilangkan kemudaratan, bagaimanapun bentuknya merupakan tujuan Syara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk ke dalam konsep mashlahah al-mursalah. Hal yang lain yang menjadikan mashlahah al-mursalah begitu utama ialah :
Kemaslahatan Manusia akan selalu dan senantiasa di pengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
Bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, maka ia akan merasa jelas bahwasannya mereka telah mensyari’atkan berbagai hukum untuk merealisir kemaslahatanumum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakui.
b.   Kekaburan Istishlah Dalam Hukum Islam.
Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang menyebabkan kekaburan Istishlah ini, yaitu :
Bahwasannya syari’at telah memlihara segala kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuknya berupa Qiyas. Syara’ tidak membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemaslahatan apapun tanpa ada penunjukan kepada pentassyri’annya. Tidak ada suatu kamaslahatan melainkan ia mempunyai bukti dari Syar’i yang mengakuinya, sedang kemaslahatn yang tidak ada bukti dari Syar’i yang mengakuinya, maka pada hakikatnya ia bukanlah kemaslahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah wahmiyyah (kemaslahatn yang bersifat dugaan saja) dan tidak boleh mendasarkan hukum atas kemaslahatn tersebut.
Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Sebagian dari mereka kadangkala terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, sehingga mereka membayangkan berbagai mafsadah (kerusakan) sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan merupakan hal yang bersifat perkiraan yang dapat berbeda-beda akibat perbedaan berbagai pendapat dan lingkungan. Oleh karena itu, pembukaan pintu pembentukan hukum berdasarkan mutlaknya kemaslahatan membuka pintu kejahatan.















DAFTAR PUSTAKA



Bisyri, Muhlisin, Diktat Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA WS, TT.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Ciputat : P.T. Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. II

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, ter., Moh. Zuhri dkk., Semarang : Dina Utama, 1994

Yafie, Ali, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah, (Edit.) Budhy Munawar-Rachman, Jakarta : Yayasan paramadina, 1994



















[1] Ali Yafie, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah (Edit.) Budhy Munawar-Rachman, )Jakarta : Yayasan paramadina, 1994), h. 362

[2] Ibid.

[3] Ibid.
[4] Ibid.

[5] Ibid.
[6] Nasrun Haroen, DR., H., M.A., Ushul Fiqh I, Ciputat : P.T. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1997, h. 113

[7] Muhlisin Bisyri,Drs., H., SE., M.Ag., Diktat Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA WS, h. 24

[8] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 114

[9] Muhlisin Bisyri., Op., Cit., h. 25
[10] Nasrun Haroen., Op., Cit.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Muhlisin Bisyri., Op., Cit.
[14] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 115

[15] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366

[16] Ibid.
[17] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 116

[18] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366

[19] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 116

[20] Ibid.

[21] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366 dan Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 119
[22] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 119

[23] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366 dan Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 119

[24] Ibid.

[25] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 119
[26] Ibid.

[27]Ibid.

[28] Ali Yafie., Op., Cit., h. 367

[29] Ali Yafie., Op., Cit., h. 367
[30] Ibid.

[31] Ibid.

[32] Ibid.

[33] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 120
[34] Ibid.

[35] Ibid. h. 125

[36] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (pen.), Moh. Zuhri, dan Ahmad Qarib, Semarang : Dina Utama, 1994, h..119
[37] Ibid.

[38] Ibid. h. 120

[39] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 123

[40] Ibid.

[41] Ibid.

[42] Ibid.
[43] Ibid.

[44] Abdul Wahhab Khallaf., Op., Cit., 117

[45] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 123-124

[46] Abdul Wahhab Khallaf., Op., Cit., 117-118

[47] Ibid. h. 120

[48] Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar