PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM:
METODE ISTINBAT HUKUM DENGAN
ISTISLAH DAN SELUK BELUK PENERAPANNYA
A.
Pendahuluan
Dinamika hukum Islam
dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang
menjadi Ijtihad (upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang
tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus)
dalam syari’ah (al-kitab wa sunnah).[1]
Dengan demikian, sumber hukum Islam terdiri atas : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya
sumber-sumber sekunder (al-mashadir
al-tab’iyyah), yaitu Syari’ah terdahulu (syar’ man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al’urf), Istihsan, Istishlah, dan Istishhab.[2]
Dalam Islam, melakukan
suatu perbuatan harus mempunyai unsur manfaat dalam hidup atau mempunyai
kemaslahatan bagi dirinya atau bagi masyarakat. Sebab hal itulah yang melatar
belakangi mengapa syari’ah Islam itu ada, yaitu menciptakan kemaslahatan dan
mencegah kemadharatan.
Istishlah merupakan
suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah
(kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu hukum sekunder.
Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlahah al-mursalah atau al-mashalih
al-mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran
pemikiran hukum islam (madzhab) Malikiyah.[3]
Tapi pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan
pertama ahl al-ijtihad dikalangan sahabat
dan tabi’in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari
aliran Syafi’iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini
ditolak oleh alira Zhahiriyyah dan Syi’ah.[4]
Landasan pemikiran yang
membentuk konsep ini ialah, kenyataan yang mudah ditangkap, syari’ah Islam
dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi kepentingan
dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka
tidak dituntut untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia
tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada dasarnya
membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah
sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari’ah yang
diturunkan oleh Allah kepada semua rasulNya. Dan itulah sasaran utama dari
hukum Islam.[5]
B.
Pembahasan
Salah satu metode yang
dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengistinbatkan hukum dari nash adalah
mashlahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i
(rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada
pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah
nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumlah nash).[6]
1.
Pengertian Istishlah.
Menurut bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang
mendorong kepada kebaikan manusia baik dalam arti menarik atau menghasilkan
keuntungan atau kesenangan atau dalam arti menolak/menghindarkan kemadharatan
atau kesusahan. Pengertian yang lain menyatakan Istishlah adalah logika yang
baik tentu baik untuk dipergunakan.[7]
Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut
ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan
menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.[8]
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya
masalah itu berarti sesuatu yang mendatangkan keuntungan (manfaat) dan
menjauhkan madharat (kesusahan).
“Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”.[9]
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan
harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan
manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak
syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman
jahiliyah wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka
sesuai dengan adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan
kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.[10]
Tujuan syara’ yang harus dipelihara lanjut
al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : terpeliharanya agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang pada intinya
untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas maka dinamakan mashlahah.
Disampig itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan
dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah.[11]
Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syatibi, mengatakan bahwa kemaslahatan
tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat,
karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan
syara’ di atas termasuk ke dalam konsep mashlahah. Dengan demikian, menurut
al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan
untuk kemaslahtan di akhirat.[12]
Al-Khawarizmi menyatakan :
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan
hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia”.[13]
Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa tujuan
dari hukum Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia di dunia
maupun akhirat. Kemaslahatan ini merupakan lima tujuan syara’ yaitu :
terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Disampig itu, juga
segala upaya untuk mencegah segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan
kelima aspek tujuan syara’ tersebut juga dinamakan mashlahah.
2.
Macam-macam Istishlah
Dalam kajian para ahli al-ijtihad mengemukakan
terdapat tiga jenis mashlahah, yaitu :
a). Mashlahah
yang diakui ajaran syari’ah. Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan
manusia, yaitu :.
Pertama,
Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok umat manusia di dunia dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima,
yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4)
memelihara keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan
al-mashalih al-khamsah.[14]
Dharuriyyah, (bersifat mutlak) karena menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut
terpelihara dirinya (jiwa, raga, dan kehormatan) akal pikirannya, harta
bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan agamanya. Permasalahan di ataslah
yang merupakan dasar mashlahah.[15]
Kedua,
Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kebutuhan pokok, untuk menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam
kehidupannya.[16]
Hajiyah, merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan
dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk
keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya,
dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir;
dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang
baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’
al-salam), kerjasama dalam pertanian (muzara’ah)
dan perkebunan (musaqqah). Semua ini
disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah di atas.[17]
Ketiga,
Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap
dalam rangka memelihara sopan santun dan tata-krama dalam kehidupan.[18]
Tahsiniyyah, merupakan kemaslahatan yang sifatnya
pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amal tambahan, dan berbagai jenis cara
menghilangkan najis dari badan manusia.[19]
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga
seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan
sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus lebih didahulukan dari kemaslahatan
hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan
tahsiniyyah.[20]
b). Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari’ah
yaitu kepentingan yang bertentangan dengan mashlahah yang diakui terutama pada
tigkat pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah
al-Mulghah.[21]
Mashlahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang
ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya,
syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan
Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan
berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari
dan Muslim). Sedangkan Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fiqh Maliki di Spanyol),
menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol)
yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para
ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasululllah di atas,
karena bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan
seperti ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah
al-mulghah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.[22]
c). Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama
dan kedua. Mashlahahain disebut dengan Mashlahah
al-Mursalah.[23]
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’
melalui dalil yang rinci.[24]
Kemashlahatan dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
Mashlahah al-gharibah, yaitu kemashlahatan yang
asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik
secara rinci maupun secara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan
contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak
ditemukan dalam praktek, sekalipun ada dalam teori.[25]
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak
didukung oleh sekumpulan makna nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan
makna nash (ayat atau hadist).[26]
Najm al-Din al Thufi (675-716 H/1276-1316 M, ahli
ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut, sebagaimana yang
dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas. Menurutnya, mashlahah merupakan dalil
yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum
syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak.[27]
d). Al-Mashlahah al-‘ammah.
Hukum Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap manusia, yang
sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya,
seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih al-khamsah.
Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain. Seperti misalnya
menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian, dan tempat tinggalnya),
dan mashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut ilmu bagi semua orang Islam).[28]
Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah:
1. Mashlahah
al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.[29]
Kemaslahatan
umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk
kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama
membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena
menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Mashlahah
al-Khasanah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.[30]
Dalam
hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang sifatnya pribadi
dan sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan
hilang (maqfud).[31]
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini
berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara
kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan
kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada
kemaslahatan pribadi.[32]
3.
Kehujjahan
Istishlah.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah
al-mursalah sebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada
hukum. Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang
dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam
penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut
dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal, sifat yang
berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasululllah pernah ditanya tentang
status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak.[33]
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
“Bahwa
Rasullah saw. Bersabda tentang kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena
sesungguhnya kucing itu termasuk binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu,
tidak (menjadi najis) bagi kamu”.
Keberadaan kucing yang senantiasa berada di rumah
merupakan sifat yang membuat mereka bersih atau suci. Sifat yang menjadi
motivasi hukum dalam hadist ini jelas, yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa
berada di rumah, tidur di rumah dan sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini
maka hukum sisa makanan kucing itu tidak najis (suci). Oleh sebab itu,
thawwaf merupakan motivasi dari hukum
thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang memelihara
kucing di rumahnya.[34]
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap
sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka
mashlahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari
nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi
mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat
pasti (qath’i), sekalipun dalam
penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).[35]
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga
syarat, yaitu :
a)
Kemaslahatan itu haruslah merupakan
suatu kemaslahatn yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan
saja. Yang dimaksud persyaratan ini ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum
pada suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.[36]
b)
Bahwa kemaslahatan ini adalah
kemaslahatan umum, dan bukan kemaslahatan pribadi. Yang dimaksud dengan
persyaratan ini ialah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu
kasus adalah mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau menolak
bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah
perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.[37]
c)
Bahwa pembentukan hukum berdasarkan
kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah
berdasarkan nash atau ijma’. Oleh karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan
yang menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan
warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena bertentangan dengan nash
Al-Qur’an.[38]
Ulama golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga
menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam
Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas. Misalnya, ia meng-qiyas-kan hukuman bagi
peminum minuman keras kepada hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera
sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya
diduga keras akan menuduh orang lain berbuat zina.[39]
Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas
permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan
al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam
mengistinbatkan hukum, yaitu :
a) Mashalahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’.[40]
b) Mashlahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.[41]
c) Mashlahah
itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu
berlaku sama untuk semua orang.[42]
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan
bahwa yang hajjiyah, apabila menyangkut kemaslahatan orang banyak bisa menjadi
dharuriyyah.[43]
Jumhur ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya
mashlahah al-mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan
hukum, dan bahwasannya kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma,
atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum.[44]
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah :
Hasil induksi terhadap ayat atau hadist menunjukkan
bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan
ini Allah berfirman :
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia”. (Q.S. al-Anbiya’, 21 :
107).
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan
menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia.
Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan
di akhirat.[45]
Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru
dan tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk
mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa yang
dituntut oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya berkisar pada
berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya akan banyak
kemaslahatn manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan zaman, dan
pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan
mereka.[46]
Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini
tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash atau
ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan
antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam bagian warisan, karena
kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia bertentangan dengan nash Al-Qur’an.[47]
Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada
beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi bagian
zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), karena menurut Umar,
kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu Bakar mengumpulkan
al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai salah satu kemaslahatan
untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan al-Qur’an pada satu logat bahasa di
zaman Utsman ibn Affan demi memelihara tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an
itu sendiri.[48]
C.
Kesimpulan
Mashlahah al-Mursalah, yaitu yang mutlak menurut
istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah : Suatu kemaslahatan dimana Syari’
tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak
ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya. Maslahat ini
disebut mutlak, karena ia tidak terikat oleh dalil yang mengakui atau dalil
yang membatalkannya.
a. Keutamaan
Istishlah Dalam Hukum Islam.
Menghilangkan kemudaratan, bagaimanapun bentuknya
merupakan tujuan Syara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk
ke dalam konsep mashlahah al-mursalah. Hal yang lain yang menjadikan mashlahah
al-mursalah begitu utama ialah :
Kemaslahatan Manusia akan selalu dan senantiasa di pengaruhi
perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at
Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila
bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan
dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk
mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat.
Bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum
oleh para sahabat, tabi’in, dan para imam mujtahid, maka ia akan merasa jelas
bahwasannya mereka telah mensyari’atkan berbagai hukum untuk merealisir
kemaslahatanumum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakui.
b. Kekaburan
Istishlah Dalam Hukum Islam.
Sebagian dari ulama kaum muslimin berpendapat
bahwasannya mashlahah al-mursalah yang tidak ada bukti syar’i yang membuktikan
terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, tidak bisa dijadikan sebagai
dasar pembentukan hukum. Mereka berdalil ada dua hal yang menyebabkan kekaburan
Istishlah ini, yaitu :
Bahwasannya syari’at telah memlihara segala
kemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan petunjuknya berupa Qiyas.
Syara’ tidak membiarkan umat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan
kemaslahatan apapun tanpa ada penunjukan kepada pentassyri’annya. Tidak ada
suatu kamaslahatan melainkan ia mempunyai bukti dari Syar’i yang mengakuinya,
sedang kemaslahatn yang tidak ada bukti dari Syar’i yang mengakuinya, maka pada
hakikatnya ia bukanlah kemaslahatan. Ia tidak lain merupakan mashlahah
wahmiyyah (kemaslahatn yang bersifat dugaan saja) dan tidak boleh mendasarkan
hukum atas kemaslahatn tersebut.
Bahwasannya pembentukan hukum atas dasar kemutlakan
kemaslahatn berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang yang menurutinya, baik
dari kalangan penguasa, amir, dan para mufti. Sebagian dari mereka kadangkala
terkalahkan oleh hawa nafsu dan keinginannya, sehingga mereka membayangkan
berbagai mafsadah (kerusakan) sebagai kemaslahatan. Sedangkan kemaslahatan
merupakan hal yang bersifat perkiraan yang dapat berbeda-beda akibat perbedaan
berbagai pendapat dan lingkungan. Oleh karena itu, pembukaan pintu pembentukan
hukum berdasarkan mutlaknya kemaslahatan membuka pintu kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bisyri,
Muhlisin, Diktat Sederhana Ushul Fiqh II,
Semarang : SETIA WS, TT.
Haroen,
Nasrun, Ushul Fiqh I, Ciputat : P.T.
Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. II
Khallaf,
Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, ter.,
Moh. Zuhri dkk., Semarang : Dina Utama, 1994
Yafie,
Ali, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah, (Edit.)
Budhy Munawar-Rachman, Jakarta : Yayasan paramadina, 1994
[1] Ali Yafie, Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat
Al-Ammah (Edit.) Budhy Munawar-Rachman, )Jakarta : Yayasan paramadina,
1994), h. 362
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Nasrun Haroen,
DR., H., M.A., Ushul Fiqh I, Ciputat : P.T. Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1997,
h. 113
[7] Muhlisin
Bisyri,Drs., H., SE., M.Ag., Diktat Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA
WS, h. 24
[8] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
114
[9] Muhlisin Bisyri., Op., Cit., h.
25
[10] Nasrun Haroen., Op., Cit.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Muhlisin Bisyri., Op., Cit.
[14] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
115
[15] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366
[16] Ibid.
[17] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
116
[18] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366
[19] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
116
[20] Ibid.
[21] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366
dan Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 119
[22] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
119
[23] Ali Yafie., Op., Cit., h. 366
dan Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 119
[24] Ibid.
[25] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
119
[26] Ibid.
[28] Ali Yafie., Op., Cit., h. 367
[29] Ali Yafie., Op., Cit., h. 367
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
120
[34] Ibid.
[35] Ibid. h. 125
[36] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (pen.), Moh. Zuhri, dan
Ahmad Qarib, Semarang : Dina Utama, 1994, h..119
[37] Ibid.
[38] Ibid. h. 120
[39]
Nasrun Haroen., Op., Cit., h. 123
[40] Ibid.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Abdul Wahhab Khallaf., Op., Cit.,
117
[45] Nasrun Haroen., Op., Cit., h.
123-124
[46] Abdul Wahhab Khallaf., Op., Cit.,
117-118
[47] Ibid. h. 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar